Mengenai Saya

Foto saya
everything has beauty,,but not everyone sees it...

Senin, 26 Maret 2012

Psikodiagnostikkk.....laaggggiiiii....


Annyeonghaseyo......
Hmm...minggu lalu sudah membahas seputar pengukuran di bidang industri,,,kali ini pembahasan apa lagi ya....???...
AHA!!!!! Karena minggu lalu juga sudah pernah disinggung tentang keadaan normal dan abnormal pada individu sehingga alat ukur harus memiliki kesesuaian norma dengan tahap perkembangan manusia,,jadi kali ini kita ulas saja sedikit tentang pengukuran pada populasi khusus, yuuukk.....
Let’s check it out...!!!

Tes pada populasi khusus ditujukan bagi individu yang sebenarnya normal hanya saja mereka memiliki kekurangan atau keterbatasan pada beberapa hal, misalnya tunanetra, tunarungu, dll. Sehingga sangat tepat sekali jika pada awal pembuatannya, alat tes tersebut haruslah memiliki kesesuaian norma dengan konflik di tiap tahapan perkembangan manusia sehingga menghasilkan alat tes yang valid. Jadi tidak semua alat tes diperuntukkan secara global pada semua orang, tetapi disesuaikan dengan kondisi individu yang hendak di tes.
Bagi para penyandang tunanetra, beberapa alat tes sudah pasti tidak dapat diberikan. Tes-tes berupa instruksional lisan masih mungkin untuk dapat diikuti, tetapi tidak halnya dengan tes-tes yang menguji performance atau kinerja. Oleh karenanya, ada sejumlah alat tes yang memang sengaja dirancang untuk penyandang tunanetra, seperti College Board Scholastic Assessment Test (SAT) yang tersedia dalam format huruf braille.
Di antara contoh-contoh paling awal tentang tes intelegensi umum yang telah diadaptasi untuk para tunanetra adalah tes Binet (Anastasi & Urbina, 2007). Namun tidak berhenti disitu, ada lagi tes-tes yang berusaha dikembangkan untuk tunanetra, diantaranya :
1.       Perkins-Binet Tests of Intelligence for the Blind à di mana instrumennya distandarkan dan memiliki bentuk-bentuk terpisah untuk anak-anak yang masih mampu melihat meski sedikit dan anak yang benar-benar buta.
2.      Blind Learning Aptitude Test (BLAT) à tes individual yang memasukkan soal-soal yang diadaptasi dari tes-tes lainnya, misalnya Raven’s Progressive Matrices.
3.      Intelligence Test for Visually Impaired Children (ITVIC).

Hmmm.....dari ulasan sekilas tentang penyandang tunanetra, bukankah hal ini menjadikan kita bahwa sudah sepatutnya kita mensyukuri kondisi kita saat ini yang dapat dikatakan jauh lebih normal dibandingkan mereka yang memiliki keterbatasan fisik tertentu??....

          Pada dasarnya, semua alat tes mengukur tentang bagaimana seseorang dikatakan normal atau abnormal berdasarkan standar yang telah digeneralisasi pada sekelompok orang yang dapat mewakili populasi manusia. Seperti halnya pada pengukuran psikologi klinis yang sejarahnya berawal dari psikologi abnormal. Ada beberapa aspek abnormalitas yang dapat diukur, diantaranya intelektual, emosi, motorik, dan perilaku secara sosial. Jika setelah melalui serangkaian proses salah satu diantaranya memiliki perbedaan yang jauh dengan yang semestinya, barulah seorang individu dapat dikatakan abnormal. Begitu pun dengan pengukuran di bidang psikologi yang lain.
          Namun lain halnya dengan bidang psikologi yang lain, psikologi sosial lebih menekankan bagaimana kita bisa meneliti perilaku yang tampak untuk kemudian diberikan intervensi. Seorang psikolog harus tahan dan kuat dengan teori yang menunjang, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk bisa bergerak lebih praktis lagi dipenerapannya. Umpamanya saja psikologi sosial yang secara tidak langsung memiliki kaitan erat dengan ilmu komunikasi karena dari hasil riset yang telah mereka lakukan, para psikolog sosial harus tahu bagaimana cara mengkomunikasikannya kepada khalayak banyak dengan cara yang tepat, dapat diterima, dan tentu saja sampai membawa perubahan perilaku yang signifikan.

Bagaimana...?? Apakah ulasan kali ini bisa menambah pengetahuan kita?...
Tenang saja,,,ini bukan akhir..!!! Masih ada banyak hal yang bisa dituangkan..
Untuk kelanjutannya,.....see u next time....

......to be continued.....
Referensi :
Anastasi A., & Urbina, S. 2007. Tes Psikologi. Jakarta: Indeks

Rabu, 21 Maret 2012

Next, next....

Ketika kita berbicara tentang abnormal, maka secara tidak langsung kita juga sedang membicarakan tes apa yang tepat untuk digunakan dalam pengukuran yang dapat menunjukan abnormalitas tersebut. Karena jika kita mengabaikannya, lantas darimana kita bisa mengetahui seseorang dikatakan abnormal jika kita bahkan tidak tahu standar ukurannya? Oleh karena itu, mempelajari alat ukur menjadi sangat penting dalam bidang psikologi agar tidak keliru dalam memberikan gambaran tentang seseorang.
Setiap manusia yang terlahir ke dunia pasti akan melewati tahapan perkembangan dalam hidupnya di mana dari setiap tahapan perkembangan tersebut, ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu. Begitu pun dengan konflik yang terjadi disetiap tahapan. Oleh karena itu, untuk melakukan pengukuran, alat tes harus memiliki kesesuaian norma dengan setiap tahap perkembangan sehingga dapat menerapkan tools pada alat tes dengan tepat dan sesuai dengan karakter tiap perkembangan manusia. Hal ini bertujuan agar menghasilkan alat ukur yang valid.
Mengukur tidak hanya membandingkan diri sendiri dengan orang lain, melainkan justru membandingkan dengan diri sendiri terlebih dahulu. Dari hasil pengukuran, kita bisa memberi intervensi yang biasanya dijadikan topik keilmuan. Untuk kasus yang bersifat unik, bisa diteliti dengan menggunakan metode kualitatif, sedangkan untuk kasus massal bisa diterapkan metode kuantitatif.
Pada dasarnya, psikologi terbagi menjadi empat sub bagian besar, yaitu psikologi klinis, psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan psikologi organisasi yang merupakan pecahan dari psikologi sosial. Psikologi organisasi memisahkan diri dari psikologi sosial karena kepraktisannya dalam aplikasi di masyarakat. Selama 15 sampai 20 tahun terakhir ini, psikologi organisasi mengalami perubahan bentuk yang amat besar (dalam Edgar H. Schein, 1985).
Ada empat hal yang dicari dalam pengukuran di bidang industri, yaitu knowledge, skill, attitude, dan others (personality). Hanya saja, biasanya antara knowledge dan skill dijadikan satu yang kemudian disebut intelegensi. Berikut adalah proporsi bagaiannya:
Ibarat gunung es, knowledge dan skill ditempatkan pada permukaan yang biasa terlihat dan bisa dengan mudah pula diukur. Hal ini dikarenakan bisa jadi ada faktor keilmuan dan pengalaman yang dimiliki individu sehingga ia dapat dengan mudah menunjukan knowledge yang dikuasainya, begitupun halnya dengan keterampilan. Faktor pengalaman bisa menjadikan seseorang dapat menunjukan keterampilannya. Sedangkan personality berada di bagian bawah dan attitude menjadi faktor penting yang menjadi “mask”, bagaimana seorang manusia berinteraksi dengan pekerjaannya.

Membicarakan tentang kepribadian, Gordon W. Allport mendefinisikannya sebagai organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisis yang menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut terhadap lingkungannya (dalam Sarlito W. Sarwono, 2009). Personality  yang sering dibicarakan ialah ekstrovert dan introvert yang terletak pada garis kontinu.
Ada banyak definisi tentang intelegensi. David Wechsler, pembuat alat ukur IQ, mengemukakan bahwa intelegensi adalah sekumpulan atau keseluruhan kemampuan (capacity) individual untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara rasional, dan berurusan secara efektif dengan lingkungannya. Sedangkan definisi intelegensi menurut versi MSI (Mainstream Science on Intelligence) lebih merujuk kepada faktor “G” daripada intelegensi tersebut. Namun akhirnya, Howard Gardner mempopulerkan adanya kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences.
Personality dan intelegensi tersebut saling berinteraksi untuk dapat menampilkan attitude. Attitude berbicara mengenai sistematika kerja, ketekunan, ketelitian, daya tahan, dan lain-lain yang menunjukan interaksi manusia dengan pekerjaannya.

..hmmmm......what's next y....???.....tunggu kelanjutannya minggu depan aja lah y.....
don't forget to check my blog..
Jeongmal gomapta..^+^

...to be continued...

Referensi :
Sarwono, Sarlito W. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers
Schein, Edgar H. 1985. Psikologi Organisasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo

Kamis, 15 Maret 2012

Rabu, 14 Maret 2012

Dialog Dua Sisi 

Angin berdesir kencang menyibakkan rambutku yang panjang. Membawa hembusan udara tak terlihat, hanya terasa. Menyejukkan, melegakan...seolah pelepas dahaga dikala kehausan di padang tanpa harapan. Hidup...apa itu hidup? Apa arti kehidupan yang sesungguhnya? Aku sedang mencarinya ataukah justru melalaikan apa yang sebenarnya sudah tertera nyata? Kegamangan dan kegelisahan mulai merasuki jiwa yang separuh bimbang. Akankah ini terganti dengan jawaban kepastian dalam diri? Tidak mungkin selamanya aku seperti ini. Pasti akan ada masa aku menyadari. Tapi bagaimana dengan mereka yang seusiaku? Apakah mereka juga pernah mengalami pertanyaan kebimbangan dalam nurani tentang apa yang sedang mereka jalani? Berdiam diri dalam tanda tanya besar tanpa pencarian hanya melemahkan diri semakin jauh dari rahmat Tuhan. Tapi, bukankah Tuhan dapat memahami apa yang kini kurasa? Ataukah Tuhan membenci orang sepertiku yang seolah melupakan nikmat dan karunia-Nya? Ada banyak hal yang sulit terungkap dengan kata. Hanya dengan ini, aku menyadari sesuatu. Dialog dua sisi.

Senin, 12 Maret 2012

Psikologi???.....

Hhhmmm,.......
kata psikologi sudah sering terdengar..tetapi masih sering simpang-siur dengan pemahaman konsep yang tepat, kan???.....kita belajar bareng, yuuukkk.....

Apa itu psikologi???.....secara teori, ada banyak pengertian psikologi yang dijelaskan oleh para ahlinya yang disesuaikan dengan arah minat dan aliran masing-masing. Tetapi secara singkatnya, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya (dalam Sarlito W Sarwono, 2010, hal.7). Oleh karena yang dipelajari adalah perilakunya, maka menurut psikolog sosial 80% perilaku manusia tersebut dipengaruhi oleh lingkungan atau nurture. Meskipun untuk banyak hal, pengaruh bawaan lahir atau nature juga turut mengambil bagian. Sebelum perilaku itu ditampilkan, individu akan menunjukan sikap terlebih dahulu melalui proses belajar. Jika positif, perilaku tersebut akan muncul. Dan perilaku ini jugalah yang hendak diukur oleh Wilhelm Wundt, pendiri laboratorium psikologi pertama di Leipzig, Jerman pada tahun 1879. Berkat kerja kerasnya, akhirnya psikologi berhasil menjadi ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu-ilmu induknya, yaitu faal dan filsafat. Dengan menggunakan sampel orang-orang disekitarnya, Wundt berusaha untuk menciptakan suatu standar ukuran yang dapat dijadikan alat perbandingan atas performa individu antara kondisi normal dan sakit/ mengalami gangguan (fisik/psikis).

Meskipun begitu, tidak hanya perilaku yang diukur, tetap juga intelegensi dan personality. Dan yang terpenting adalah bahwa psikologi harus mampu mengungkapkan motif individu melakukan sesuatu. Karena dengan aktivitas yang sama, bisa jadi apa yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut memiliki alasan yang sangat beragam. Itulah mengapa, dalam psikologi ada beberapa metode untuk dapat mengetahui perilaku individu yang mendekati kebenaran dalam dirinya, diantaranya melalui written atau tes-tes dalam bentuk tertulis, wawancara, dan observasi. Dan diantara alat tes tersebut, harus memenuhi syarat validitas dan reliabilitas agar apa yang menjadi objek ukur memang tepat atau setidaknya menunjukan suatu kondisi yang memang sesuai dan konsisten menunjukan perilaku individu secara umum.



referensi:
Sarwono, Sarlito W. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.