Annyeonghaseyo......
Hmm...minggu lalu sudah membahas seputar pengukuran di
bidang industri,,,kali ini pembahasan apa lagi ya....???...
AHA!!!!! Karena minggu lalu juga sudah pernah disinggung
tentang keadaan normal dan abnormal pada individu sehingga alat ukur harus
memiliki kesesuaian norma dengan tahap perkembangan manusia,,jadi kali ini kita
ulas saja sedikit tentang pengukuran pada populasi khusus, yuuukk.....
Let’s check it out...!!!
Tes pada populasi khusus ditujukan bagi individu
yang sebenarnya normal hanya saja mereka memiliki kekurangan atau keterbatasan
pada beberapa hal, misalnya tunanetra, tunarungu, dll. Sehingga sangat tepat
sekali jika pada awal pembuatannya, alat tes tersebut haruslah memiliki
kesesuaian norma dengan konflik di tiap tahapan perkembangan manusia sehingga
menghasilkan alat tes yang valid. Jadi tidak semua alat tes diperuntukkan
secara global pada semua orang, tetapi disesuaikan dengan kondisi individu yang
hendak di tes.
Bagi para penyandang tunanetra, beberapa alat
tes sudah pasti tidak dapat diberikan. Tes-tes berupa instruksional lisan masih
mungkin untuk dapat diikuti, tetapi tidak halnya dengan tes-tes yang menguji performance atau kinerja. Oleh
karenanya, ada sejumlah alat tes yang memang sengaja dirancang untuk penyandang
tunanetra, seperti College Board
Scholastic Assessment Test (SAT) yang tersedia dalam format huruf braille.
Di antara contoh-contoh paling awal tentang tes
intelegensi umum yang telah diadaptasi untuk para tunanetra adalah tes Binet
(Anastasi & Urbina, 2007). Namun tidak berhenti disitu, ada lagi tes-tes
yang berusaha dikembangkan untuk tunanetra, diantaranya :
1.
Perkins-Binet Tests of Intelligence for the Blind à di mana instrumennya distandarkan
dan memiliki bentuk-bentuk terpisah untuk anak-anak yang masih mampu melihat
meski sedikit dan anak yang benar-benar buta.
2.
Blind Learning Aptitude Test (BLAT) à tes individual yang memasukkan soal-soal yang
diadaptasi dari tes-tes lainnya, misalnya Raven’s Progressive Matrices.
3.
Intelligence Test for Visually Impaired Children (ITVIC).
Hmmm.....dari
ulasan sekilas tentang penyandang tunanetra, bukankah hal ini menjadikan kita
bahwa sudah sepatutnya kita mensyukuri kondisi kita saat ini yang dapat
dikatakan jauh lebih normal dibandingkan mereka yang memiliki keterbatasan
fisik tertentu??....
Pada dasarnya, semua alat tes mengukur
tentang bagaimana seseorang dikatakan normal atau abnormal berdasarkan standar
yang telah digeneralisasi pada sekelompok orang yang dapat mewakili populasi
manusia. Seperti halnya pada pengukuran psikologi klinis yang sejarahnya
berawal dari psikologi abnormal. Ada beberapa aspek abnormalitas yang dapat
diukur, diantaranya intelektual, emosi, motorik, dan perilaku secara sosial.
Jika setelah melalui serangkaian proses salah satu diantaranya memiliki
perbedaan yang jauh dengan yang semestinya, barulah seorang individu dapat
dikatakan abnormal. Begitu pun dengan pengukuran di bidang psikologi yang lain.
Namun lain halnya dengan bidang
psikologi yang lain, psikologi sosial lebih menekankan bagaimana kita bisa
meneliti perilaku yang tampak untuk kemudian diberikan intervensi. Seorang
psikolog harus tahan dan kuat dengan teori yang menunjang, tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk bisa bergerak lebih praktis lagi dipenerapannya. Umpamanya
saja psikologi sosial yang secara tidak langsung memiliki kaitan erat dengan
ilmu komunikasi karena dari hasil riset yang telah mereka lakukan, para
psikolog sosial harus tahu bagaimana cara mengkomunikasikannya kepada khalayak
banyak dengan cara yang tepat, dapat diterima, dan tentu saja sampai membawa
perubahan perilaku yang signifikan.
Bagaimana...??
Apakah ulasan kali ini bisa menambah pengetahuan kita?...
Tenang saja,,,ini bukan akhir..!!! Masih ada banyak hal yang bisa dituangkan..
Untuk kelanjutannya,.....see u next time....
Tenang saja,,,ini bukan akhir..!!! Masih ada banyak hal yang bisa dituangkan..
Untuk kelanjutannya,.....see u next time....
......to be continued.....
Referensi :
Anastasi A., &
Urbina, S. 2007. Tes Psikologi.
Jakarta: Indeks